Pulau Lembata, di Lamalera provinsi Nusa Tenggara Timur, sekitar 3 abad yang lalu, pada tahun 1726, pernah terjadi suatu peristiwa yang perngucilan terhadap sepasang manusia Somi dan Ruma, yang dituduh melakukan pembunuhan.
Selama tiga abad Lamalera seolah dicekam tragedi Somi-Ruma. Puluhan suku di kampung nelayan di ujung selatan Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, merasa berdosa atas eksekusi dua orang anggota suku Batafor. Suku Batafor merupakan satu di antara 19 suku yang bermukim di Lamalera.
Pada hari eksekusi Somi-Ruma diusir dari kampung Lamalera. Mereka rencananya akan ditenggelamkan di tengah laut. Tapi keduanya bisa selamat. Sampan yang ditumpanginya mendarat di Sikka, Maumere, Flores. Mereka menetap di sana, beranak-pinak, hingga sekarang telah mencapai generasi ketujuh.
Tragedi Somi-Ruma memang telah menjadi momok yang menghantui masyarakat Lamalera sejak tiga abad silam. Momok itu bermula dari sebuah peristiwa mencekam sekitar 1726, ketika Somi-Ruma, ibu-anak dari suku Batafor, dituduh sebagai biang penyebab kematian seorang ibu dari suku Bataona.
Pada suatu pagi Somi datang ke rumah tetangganya, Govi Bataona, meminta api untuk menjerang air. Saat itu istri Govi, Nogo Bataona, tengah hamil tua. Setelah Somi kembali ke rumahnya, tak lama berselang Nogo ternyata melahirkan. Bayinya selamat, tapi ibunya tak tertolong. Jabang bayi yang masih merah itu terus menangis tiada henti, seolah mengetahui sang ibu telah meninggal.
Kabar duka itu menyebar dengan cepat ke seluruh kampung. Masyarakat lalu menghubungkan kematian itu dengan Somi yang bertandang ke rumah almar-hum. Mereka menuduh Somi sebagai swanggi-seseorang yang berbuat jahat sehingga menyebabkan kematian.
Masyarakat menuntut agar Somi dan anaknya, Ruma, dihukum mati. Saat itu, seluruh anggota suku yang berkumpul di bawah pohon Gudi meminta agar Somi-Ruma ditenggelamkan di tengah laut, dan leher mereka digantungi batu pemberat. Somi memohon- kepada kepala kampung, Kapitan Serani Bataona, agar tuntutan itu tak dikabulkan.
Tapi permohonan “grasi” Somi tak bisa dikabulkan karena hukuman itu sudah menjadi kesepakatan seluruh anggota suku di Lamalera. Sang kepala kampung hanya bisa berpesan, “Berlayarlah ke mana saja. Jika kalian memang bersalah, ikan-ikan di laut akan memangsa kalian. Tapi, jika tuduhan masyarakat itu salah, kalian pasti selamat terdampar dan beranak-cucu di tempat lain.”
Hukuman pun dilaksanakan. Karena hukuman adat, proses dan peralatannya dipersiapkan setiap suku di sana. Misalnya, suku Tufaona menyumbangkan tali pelepah lontar. Lalu batu pemberat disiapkan suku Lamakera (Keraf), dan suku Kikoona menyediakan sampan. Sedangkan eksekutornya dari suku Bataona (Kive Langu).
Rencananya, eksekusi dilaksanakan pada malam hari. Kapitan Serani yang sebetulnya bersimpati pada Somi-Ruma menyimpan strategi untuk menyelamatkan mereka. Kapitan meminta kedua pelayannya, Soge dan Paga, membantu Somi-Ruma. Kedua orang itu diperintahkan menyiapkan sampan lain bermuatan- perbekalan. Mereka harus berangkat ke tengah laut mendahului rakit yang memuat kedua terpidana.
Strategi itu juga disampaikan kepada eksekutor dengan diam-diam. Setelah mengantar terpidana ke tengah laut dan memindahkanya ke sampan Soge-Paga, eksekutor kembali ke pantai Lamalera. Dengan meyakinkan sang eksekutor menyatakan bahwa Somi-Ruma sudah dieksekusi mati. Dan untuk lebih meyakinkan lagi, Kapitan Serani mengundang seluruh warga kampung menggelar acara tolak-bala di Neme Bataona.
Sejak itu kisah Somi-Ruma seolah hilang dan tabu diceritakan kepada masyarakat secara terbuka. Namun cerita itu tetap berkembang dari mulut ke mulut kepada keluarga di Lamalera turun-temurun. Masyarakat Lamalera takut, kalau itu diceritakan secara terbuka, akan banyak suku yang tersinggung, sehingga memicu pertikaian. Jadilah kisah itu tumbuh dalam bisik-bisik.
Nasib Somi-Ruma sendiri tak seburuk yang dikisahkan. Menurut sebuah catatan, kedua terpidana itu dibawa Soge-Paga berlayar ke barat. Setelah melin-tasi Tanjung Naga, sebuah tempat di ujung barat Pulau Lembata, mereka tiba di pantai Lewotobi. Dari pantai selatan Pulau Flores itu, mereka kemudian terus mengayuh sampan hingga akhirnya mendarat di pantai Sikka, Maumere. Somi-Ruma memutuskan menetap di sana.
Kepada penduduk setempat, Somi-Ruma mengaku terdampar karena perahunya karam. Untuk menghilangkan jejak, mereka pun berganti nama dengan memakai marga Pareira Matta. Ruma sendiri kemudian meng-ganti namanya dengan Sintus Lamalera. Tujuannya agar kelak anak cucu mereka mengetahui bahwa asal-usul nenek moyangnya berasal dari Lamalera.
Pergantian nama itu agaknya dilatari ketakutan mereka akan diburu dan dibunuh orang-orang Lamalera. Sebab, suku-suku di Lamalera saat itu terkenal buas. Mereka adalah keturunan prajurit yang menjaga pantai dan laut. Singkat cerita, jadilah Somi-Ruma menetap dan beranak-cucu di Sikka, Maumere, Flores.
Jalan menggapai rekonsiliasi sebetulnya telah dirintis sejak ratusan tahun silam. Menurut Uskup Kherubim, sejak menetap di Sikka leluhurnya senantiasa merindukan kampung halamannya di Lamalera. Para pendahulunya selalu berpesan, Lamalera adalah tanah asal mereka, harus dikunjungi, dan jangan dilupakan. Pesan itu disampaikan turun-temurun sebagai wasiat dari Somi-Ruma.
Namun keturunan Somi-Ruma di Sikka tetap saja takut bertandang ke Lamalera. Mereka khawatir setibanya di sana akan langsung dibunuh. Itulah yang membuat keturunan Somi-Ruma selalu mengurungkan niat menjalankan wasiat leluhurnya.
Hingga suatu hari pada 1934, Frans Anggal, seorang keturunan Somi-Ruma-memberanikan diri datang ke Lamalera. Lalu pada 1954, ayah Uskup Kherubim, Alo Pareira, berkunjung ke Lamalera sebagai penilik sekolah dengan menumpang kapal Arnoldus dari Larantuka. Kunjungan dua keturunan Somi-Ruma itu disambut baik keluarga besar Batafor di Lamalera.
Pada 5 Oktober 1986, sekitar 15 orang anggota keluarga Batafor bertandang ke Sikka dengan menumpang pledang-kapal tradisional Lamalera. Selain sebagai kunjungan balasan, mereka juga menawarkan rekonsiliasi. Sejak itu, dalam beberapa kali kunjungan, akhirnya keluarga Sikka Pareira Matta dan Batafor sepakat memulihkan secara total sejarah gelap yang menimpa leluhur mereka, Somi-Ruma.
Akhirnya proses awal rekonsiliasi secara resmi digelar pada 3 November 2005. Dengan berperahu, 35 orang suku Pareira Matta Sikka-laki-laki dan perempuan bertandang ke Lamalera. Mereka disambut seluruh warga Lamalera, kecuali keluarga besar su-ku Batafor, di gerbang kampung dengan upacara adat.
Ketika menginjakkan tanah Lamalera, rombongan itu dipercik air suci. Setelah itu mereka diguyur air laut, sebagai simbol penyucian. Tamu laki-laki disuguhi tuak dan rokok dari daun lontar. Tamu perempuan diberi sirih-pinang. Adapun rombongan dari Sikka menyerahkan kain tenun tradisional sebagai persembahan.
Para tamu dari Sikka kemudian diajak ke Neme Bataona. Di sana mereka mempersiapkan diri untuk masuk ke rumah adat suku Batafor. Selang sekitar setengah jam, rombongan itu dipersilakan mengetuk pintu rumah besar keluarga Batafor, sebagai simbol diterimanya kembali mereka di tanah leluhur.
Begitu pintu rumah itu terbuka, puluhan keluarga Batafor yang ada di dalam langsung menghambur. Mereka berpelukan, bertangis-tangisan. Seketika suasana haru-biru mendominasi pertemuan dua suku yang telah tercerai-berai ratusan tahun itu.
Pada awal Juli lalu, rekonsiliasi itu diperteguh dalam sebuah misa di Gereja Paroki St. Petrus-Paulus Lamalera. Dihadiri sekitar 2.500 jemaat, misa rekonsiliasi sekaligus perayaan ulang tahun ke-120 gereja itu berakhir saat terik matahari persis di ubun-ubun.
Sorenya, seluruh warga Lamalera dan para tamu dari Sikka berkumpul di tepi pantai menggelar sere-moti. Ini adalah pesta makan bersama sebagai tanda syukur. Menurut Pater Yan Perason Bataona, seremoti biasanya diadakan saat “pembaptisan” pledang yang baru selesai dibuat atau pada acara-acara adat lain. “Pesta ini benar-benar pesta swadaya karena semua makanan merupakan sumbangan dari setiap suku,” kata Yan.
Setiap orang yang hadir diberi kleka, piring yang terbuat dari anyaman pelepah lontar. Ke dalam pi-ring itu kemudian dituangkan nasi dan lauk-pauk, yang terdiri dari daging babi, ayam, atau ikan. Saat daging paus sedang melimpah, kata Yan Perason, kerap pula disajikan sebagai lauk dalam seremoti.
Rangkaian pesta syukuran hari itu diakhiri de-ngan tarian tradisional dolo-dolo. Puluhan warga, lelaki-perempuan, tua-muda, berpegangan membentuk sebuah lingkaran di areal Neme Bataona. Mereka menari sambil bernyanyi. Lalu diselingi berbalas pantun. Kemeriahan itu terus berlangsung hingga menjelang tengah malam.
Pada hari eksekusi Somi-Ruma diusir dari kampung Lamalera. Mereka rencananya akan ditenggelamkan di tengah laut. Tapi keduanya bisa selamat. Sampan yang ditumpanginya mendarat di Sikka, Maumere, Flores. Mereka menetap di sana, beranak-pinak, hingga sekarang telah mencapai generasi ketujuh.
Tragedi Somi-Ruma memang telah menjadi momok yang menghantui masyarakat Lamalera sejak tiga abad silam. Momok itu bermula dari sebuah peristiwa mencekam sekitar 1726, ketika Somi-Ruma, ibu-anak dari suku Batafor, dituduh sebagai biang penyebab kematian seorang ibu dari suku Bataona.
Pada suatu pagi Somi datang ke rumah tetangganya, Govi Bataona, meminta api untuk menjerang air. Saat itu istri Govi, Nogo Bataona, tengah hamil tua. Setelah Somi kembali ke rumahnya, tak lama berselang Nogo ternyata melahirkan. Bayinya selamat, tapi ibunya tak tertolong. Jabang bayi yang masih merah itu terus menangis tiada henti, seolah mengetahui sang ibu telah meninggal.
Kabar duka itu menyebar dengan cepat ke seluruh kampung. Masyarakat lalu menghubungkan kematian itu dengan Somi yang bertandang ke rumah almar-hum. Mereka menuduh Somi sebagai swanggi-seseorang yang berbuat jahat sehingga menyebabkan kematian.
Masyarakat menuntut agar Somi dan anaknya, Ruma, dihukum mati. Saat itu, seluruh anggota suku yang berkumpul di bawah pohon Gudi meminta agar Somi-Ruma ditenggelamkan di tengah laut, dan leher mereka digantungi batu pemberat. Somi memohon- kepada kepala kampung, Kapitan Serani Bataona, agar tuntutan itu tak dikabulkan.
Tapi permohonan “grasi” Somi tak bisa dikabulkan karena hukuman itu sudah menjadi kesepakatan seluruh anggota suku di Lamalera. Sang kepala kampung hanya bisa berpesan, “Berlayarlah ke mana saja. Jika kalian memang bersalah, ikan-ikan di laut akan memangsa kalian. Tapi, jika tuduhan masyarakat itu salah, kalian pasti selamat terdampar dan beranak-cucu di tempat lain.”
Hukuman pun dilaksanakan. Karena hukuman adat, proses dan peralatannya dipersiapkan setiap suku di sana. Misalnya, suku Tufaona menyumbangkan tali pelepah lontar. Lalu batu pemberat disiapkan suku Lamakera (Keraf), dan suku Kikoona menyediakan sampan. Sedangkan eksekutornya dari suku Bataona (Kive Langu).
Rencananya, eksekusi dilaksanakan pada malam hari. Kapitan Serani yang sebetulnya bersimpati pada Somi-Ruma menyimpan strategi untuk menyelamatkan mereka. Kapitan meminta kedua pelayannya, Soge dan Paga, membantu Somi-Ruma. Kedua orang itu diperintahkan menyiapkan sampan lain bermuatan- perbekalan. Mereka harus berangkat ke tengah laut mendahului rakit yang memuat kedua terpidana.
Strategi itu juga disampaikan kepada eksekutor dengan diam-diam. Setelah mengantar terpidana ke tengah laut dan memindahkanya ke sampan Soge-Paga, eksekutor kembali ke pantai Lamalera. Dengan meyakinkan sang eksekutor menyatakan bahwa Somi-Ruma sudah dieksekusi mati. Dan untuk lebih meyakinkan lagi, Kapitan Serani mengundang seluruh warga kampung menggelar acara tolak-bala di Neme Bataona.
Sejak itu kisah Somi-Ruma seolah hilang dan tabu diceritakan kepada masyarakat secara terbuka. Namun cerita itu tetap berkembang dari mulut ke mulut kepada keluarga di Lamalera turun-temurun. Masyarakat Lamalera takut, kalau itu diceritakan secara terbuka, akan banyak suku yang tersinggung, sehingga memicu pertikaian. Jadilah kisah itu tumbuh dalam bisik-bisik.
Nasib Somi-Ruma sendiri tak seburuk yang dikisahkan. Menurut sebuah catatan, kedua terpidana itu dibawa Soge-Paga berlayar ke barat. Setelah melin-tasi Tanjung Naga, sebuah tempat di ujung barat Pulau Lembata, mereka tiba di pantai Lewotobi. Dari pantai selatan Pulau Flores itu, mereka kemudian terus mengayuh sampan hingga akhirnya mendarat di pantai Sikka, Maumere. Somi-Ruma memutuskan menetap di sana.
Kepada penduduk setempat, Somi-Ruma mengaku terdampar karena perahunya karam. Untuk menghilangkan jejak, mereka pun berganti nama dengan memakai marga Pareira Matta. Ruma sendiri kemudian meng-ganti namanya dengan Sintus Lamalera. Tujuannya agar kelak anak cucu mereka mengetahui bahwa asal-usul nenek moyangnya berasal dari Lamalera.
Pergantian nama itu agaknya dilatari ketakutan mereka akan diburu dan dibunuh orang-orang Lamalera. Sebab, suku-suku di Lamalera saat itu terkenal buas. Mereka adalah keturunan prajurit yang menjaga pantai dan laut. Singkat cerita, jadilah Somi-Ruma menetap dan beranak-cucu di Sikka, Maumere, Flores.
Jalan menggapai rekonsiliasi sebetulnya telah dirintis sejak ratusan tahun silam. Menurut Uskup Kherubim, sejak menetap di Sikka leluhurnya senantiasa merindukan kampung halamannya di Lamalera. Para pendahulunya selalu berpesan, Lamalera adalah tanah asal mereka, harus dikunjungi, dan jangan dilupakan. Pesan itu disampaikan turun-temurun sebagai wasiat dari Somi-Ruma.
Namun keturunan Somi-Ruma di Sikka tetap saja takut bertandang ke Lamalera. Mereka khawatir setibanya di sana akan langsung dibunuh. Itulah yang membuat keturunan Somi-Ruma selalu mengurungkan niat menjalankan wasiat leluhurnya.
Hingga suatu hari pada 1934, Frans Anggal, seorang keturunan Somi-Ruma-memberanikan diri datang ke Lamalera. Lalu pada 1954, ayah Uskup Kherubim, Alo Pareira, berkunjung ke Lamalera sebagai penilik sekolah dengan menumpang kapal Arnoldus dari Larantuka. Kunjungan dua keturunan Somi-Ruma itu disambut baik keluarga besar Batafor di Lamalera.
Pada 5 Oktober 1986, sekitar 15 orang anggota keluarga Batafor bertandang ke Sikka dengan menumpang pledang-kapal tradisional Lamalera. Selain sebagai kunjungan balasan, mereka juga menawarkan rekonsiliasi. Sejak itu, dalam beberapa kali kunjungan, akhirnya keluarga Sikka Pareira Matta dan Batafor sepakat memulihkan secara total sejarah gelap yang menimpa leluhur mereka, Somi-Ruma.
Akhirnya proses awal rekonsiliasi secara resmi digelar pada 3 November 2005. Dengan berperahu, 35 orang suku Pareira Matta Sikka-laki-laki dan perempuan bertandang ke Lamalera. Mereka disambut seluruh warga Lamalera, kecuali keluarga besar su-ku Batafor, di gerbang kampung dengan upacara adat.
Ketika menginjakkan tanah Lamalera, rombongan itu dipercik air suci. Setelah itu mereka diguyur air laut, sebagai simbol penyucian. Tamu laki-laki disuguhi tuak dan rokok dari daun lontar. Tamu perempuan diberi sirih-pinang. Adapun rombongan dari Sikka menyerahkan kain tenun tradisional sebagai persembahan.
Para tamu dari Sikka kemudian diajak ke Neme Bataona. Di sana mereka mempersiapkan diri untuk masuk ke rumah adat suku Batafor. Selang sekitar setengah jam, rombongan itu dipersilakan mengetuk pintu rumah besar keluarga Batafor, sebagai simbol diterimanya kembali mereka di tanah leluhur.
Begitu pintu rumah itu terbuka, puluhan keluarga Batafor yang ada di dalam langsung menghambur. Mereka berpelukan, bertangis-tangisan. Seketika suasana haru-biru mendominasi pertemuan dua suku yang telah tercerai-berai ratusan tahun itu.
Pada awal Juli lalu, rekonsiliasi itu diperteguh dalam sebuah misa di Gereja Paroki St. Petrus-Paulus Lamalera. Dihadiri sekitar 2.500 jemaat, misa rekonsiliasi sekaligus perayaan ulang tahun ke-120 gereja itu berakhir saat terik matahari persis di ubun-ubun.
Sorenya, seluruh warga Lamalera dan para tamu dari Sikka berkumpul di tepi pantai menggelar sere-moti. Ini adalah pesta makan bersama sebagai tanda syukur. Menurut Pater Yan Perason Bataona, seremoti biasanya diadakan saat “pembaptisan” pledang yang baru selesai dibuat atau pada acara-acara adat lain. “Pesta ini benar-benar pesta swadaya karena semua makanan merupakan sumbangan dari setiap suku,” kata Yan.
Setiap orang yang hadir diberi kleka, piring yang terbuat dari anyaman pelepah lontar. Ke dalam pi-ring itu kemudian dituangkan nasi dan lauk-pauk, yang terdiri dari daging babi, ayam, atau ikan. Saat daging paus sedang melimpah, kata Yan Perason, kerap pula disajikan sebagai lauk dalam seremoti.
Rangkaian pesta syukuran hari itu diakhiri de-ngan tarian tradisional dolo-dolo. Puluhan warga, lelaki-perempuan, tua-muda, berpegangan membentuk sebuah lingkaran di areal Neme Bataona. Mereka menari sambil bernyanyi. Lalu diselingi berbalas pantun. Kemeriahan itu terus berlangsung hingga menjelang tengah malam.
Tragedi Somi-Ruma memang telah berlalu. Namun peristiwa memilukan itu terus terpendam di dada masyarakat Lamalera turun-temurun. Ia menjelma menjadi perang batin tiada berujung sehingga akhirnya dapat dipupuskan bersama-sama pada Ahad pagi awal Juli lalu dalam misa di Gereja St. Petrus-Paulus Lamalera itu.
Dalam khotbah misa itu, Uskup Kherubim menyatakan bahwa leluhurnya yang menetap di Sikka, Maumere, selalu berupaya mencari jalan damai. Meskipun, katanya, mungkin saja leluhurnya, Somi-Ruma, juga pernah melontarkan umpatan klasik khas orang-orang yang tengah bermusuhan. “Kami dendam tujuh turunan kepada saudara-saudaraku di Lamalera.”
Tapi pada hari itu, Kherubim menambahkan, ketika turunan Somi-Ruma sampai pada generasi ketujuh, dendam tersebut telah terbawa hanyut arus laut di pantai Lamalera. “Kami telah bersatu dalam iman, harap, dan kasih. Suku Batafor Lamalera dan suku Pareira Matta Sikka telah bersatu atas campur tangan Tuhan,” kata sang Uskup.
Tapi pada hari itu, Kherubim menambahkan, ketika turunan Somi-Ruma sampai pada generasi ketujuh, dendam tersebut telah terbawa hanyut arus laut di pantai Lamalera. “Kami telah bersatu dalam iman, harap, dan kasih. Suku Batafor Lamalera dan suku Pareira Matta Sikka telah bersatu atas campur tangan Tuhan,” kata sang Uskup.
sumber: beraona